skip to main |
skip to sidebar
Hari minggu pekan lalu, tiket mudik udah di tangan, tapi yang tertulis di tiket tanggal akhir pekan ini. Yah, agendanya jalan2 aja deh, siapa tau menemukan sesuatu yg mungkin bisa jadi oleh2 buat keluarga akhir pekan nanti.
Berangkat dari kos ketika matahari mulai terasa lebih hangat -kalau ga mau dibilang panas- dan sudut 90 derajat terbentuk hampir sempurna antara angka 9 dan 12. Sandal selop hitam model bapak tua yang belum terlalu lama kubeli dg diskon setengah harga rupanya udah mengeluh kepada tuannya. Alasnya mengelupas di bagian depan seperti lidah terjulur orang yg sedang kehausan. Mungkin kalau dia bisa ngomong, dia akan memohon: "ampun gan, minta cuti dulu gan". Maklum, model yang seperti itu memang -not for walking purpose-, ga buat jalan kaki pulang pergi tiap hari menyusuri aspal jalanan serta paving-stone dan penutup got trotoar sepanjang kwitang-gambir.
Mampirlah aku sejenak ke barisan orang2 yg duduk bertopi gelap yang hampir membuat mereka seperti berseragam. Mereka tampak serius mengerjakan order. Sepatu pesta ber-hak sedang, sampe sepatu olahraga model terkini tampak tak berdaya di pangkuan mereka diiringi dua jarum sepatu yang menari2 menyimpulkan benang jahit khusus.
Setelah sejenak menunggu, tiba kini antrianku. Sepatu futsal putih itu bertukar tempat dengan selembar sepuluhribuan. "Pak, tolong diperbaiki ya, cuma depannya doang kok", sambil kusodorkan sandal selop sebelah kanan. Tukang sol mempersilahkan sepasang sandal jepit hitam yang kupikir bagian dari layanannya untuk kukenakan sembari menunggu. Wah, bagus juga nih servicenya, batinku, apalagi setelah kulihat si bapak ternyata kerja ga pake alas kaki. Hmm.. Kayaknya properti pribadi nih..
Hal yang kontras melintas dibenakku. Sesuatu yg bertolak belakang dg yg dilakukan oleh "rekan seatap" di direktorat. Ya. Disaat layanan seorang tukang sol sepatu dilakukan dg "all-out", pengkhianat reformasi birokrasi melakukan "all-in" ke rekeningnya hingga miliaran rupiah. Layanan prima di hadapanku berbeda jauh dengan layanan pribadi mister GT. Ampun deh..!
"Udah jadi Bang..". Pura2 ga kaget aku tanya, "brapa duit pak?".
"Biasa, 5 ribu aja.." balasnya sambil senyum. Bongkar2 dompet sambil mikir, 5ribu-10ribu sepertinya lebih ringan kalau diserahkan kepada yang berhak.
Yang memberi ikhlas, sedangkan yang menerima puas. Namanya = UANG PANTAS. Bukan; yang memberi lemas campur gemas, sementara yang menerima was-was dan cemas. Namanya = UANG PANAS.
"Makasih pak", kutemukan si kanan dg si kiri sambil menghitung bo'ongan, berapa ribu pasang sandal atau sepatu lagi ya, biar tukang sol ini bisa ganti2 mobil dan punya rumah mewah seperti Gayus?
Meski ga tampak lebih baru, tapi lem dan jahitan di bagian depannya bikin aku yakin ga bakal nyangkut2 lagi tu "lidah" dan ga ada lagi suara aneh tambahan ketika kupake jalan entar. Ok, lanjutkan perjalanan dg sandal "baru".
-Perbaiki "sandal"mu agar lebih yakin melanjutkan perjalanan hidup. Masalah akan selalu ada dan itulah yang membuatmu "hidup". Bangkitlah, karena seberat apapun masalah, jika ia tidak membuatmu mati, maka ia akan membuatmu lebih kuat.-
Topi yang sedari tadi kukibaskan ke muka menyadarkanku kalo ternyata rambut2-mungil-ku udah ga mampu lagi menahan panas terik di kulit kepala.
PANTAS PANAS! Whakakakaka...
Stasiun Tulungagung. Mereka berbaris rapi menunggu penumpang yg turun dari kereta. Siapa tau ada yg mampir jd penumpang becaknya. Keliatan wajah2 sabar mereka meski beberapa penumpang kereta yg turun melalui mereka begitu saja. Rejeki ono Sing Maringi(ada yg memberi, yg Maha Pemberi). Seorang teman pernah menyampaikan padaku oleh2 pengajian di masjid beberapa waktu lalu, si ustad bilang gini: "sebenarnya sudah ditentukan besarnya rejeki tiap2 orang. Kalau seseorang punya harta berlimpah tapi dari cara yang tidak halal, sebenarnya harta sejumlah itu adalah jatah rejeki dari Allah yang sudah diatur untuk dia, tapi dia kurang sabar sehingga tergoda bujuk rayu setan dan mendapatkannya melalui cara yg salah". So? Garis bawahi kata SABAR. Semoga kita semua termasuk golongan orang yang sabar, seperti sabarnya antrian para penarik becak di stasiun Tulungagung. Amin
Seperti biasa, bila hari jumat bertepatan dengan hari libur nasional, misalnya tgl 2 april 2010, perburuan tiket kereta api hari kamis sore tgl 1 april 2010 harus dilakukan sebulan sblmnya jika tidak ingin kehabisan tiket karena biasanya diserbu para pelanggan setia kereta. Alhamdulillah, saya beruntung masih dapat tiket yg harganya cukup mahal bagi saya meskipun sudah dipotong 10% karena saya beli dg melampirkan fotocopy kartu korpri. Hari yg ditunggu datang juga. 1 april 2010, bertepatan dg ulang tahun kota Malang yg ke 96, Gajayana berangkat lumayan terlambat. Basa basi dg sesama pencari rejeki di Jakarta yg duduk di kursi sebelah, bapak yg lumayan pendiam itu ternyata turun di stasiun tugu Yogyakarta. Ah.. Jadi inget ama kenangan hidup 2 tahun di kota gudeg. Dalam hati terpikir, wah lumayan nih, ntar bisa dpt extra seat selepas Yogya, hehehe.. Singkat cerita aku terbangun oleh suara ngebass pramugara Gajayana yg membangunkan bapak pendiam karena sebentar lagi kereta tiba di Jogja. Berhenti di stasiun, bapak pendiam bergegas turun tanpa menyapaku, mungkin karena dikira aku masih tidur. Penumpang yang baru naik bikin heboh, bagasi Gajayana yg katanya mirip bagasi pesawat terbuka dan tertutup lagi dg suara yg cukup mengganggu. Seorang gadis dan adik cowoknya tampak bingung, karena tempat duduknya telah terisi. "ini gerbong 3 kan? Saya harusnya duduk disini bu, 12a dan 12b." Ibu yg msh ngantuk itu terpaksa ngeluarin tiketnya. Sambil menunjukkan tiket dan sedikit senyum dia bilang, "sama dong mbak", balas sang ibu dg santai. Gadis seumuran baru kuliah itu makin kebingungan. Mondar mandir dia, super bingung. Kasian juga nih, batinku. Kudatangi dia, "coba liat tanggalnya mbak" sambil kudekatkan telunjukku ke tiket yg dipegangnya. Tanggal 2 april 2010. Benar dugaanku. Peristiwa yang sama pernah kami(ama istriku tercinta, muach2 :-* ) alami dulu. Hehehe.. "Gajayana memang tiba di Jogja tgl 2 dini hari, tapi berangkatnya tgl 1 sore. Maksud mbak naik dari Jogja tgl 2, memang tidak salah. Tapi tiket ini tidak menunjukkan tanggal berapa anda berangkat. Tanggal di tiket mewakili tanggal keberangkatan kereta", kucoba bantu menjelaskan. Masih dalam keadaan panik, dia menimpali, "terus saya harus gimana?" "Sampaikan saja ke petugas, nanti mbak akan dibantu cari tempat duduk yg kosong", jawabku sambil menunjuk arah gerbong restorasi, tempat biasanya petugas ngumpul. "waktunya masih cukup gak nih?" rupanya si mbak mau turun dari kereta, mungkin masih panik jadi dengar kata "petugas" dia langsung kepikir petugas yg baru ditemuinya di luar kereta tadi, sampe ga ngeliat bahasa tubuhku. Hehehe, maklum bener2 panik & si adik yg kira2 masih SMU bengong aja. Akhirnya mereka berdua dpt tempat duduk kosong, entah di gerbong mana. Eh, lumayan, sampingku ga ada yg ngisi. Bisa tiduran sampe Malang nih, pikirku. Hampir kusudahi acara ngetik di handphone, kereta berhenti di stasiun Solo Balapan. Lagi, kehebohan kecil datang. Lega rasanya orang2 lewat ga ada yg berhenti n duduk di samping. "eh, mas baju biru, duduk sini" suara bass pramugara yg sama menghentikan langkah pemuda yg hampir nyampe gerbong 2.
Kursi sebelah ga jadi kosong.
Yak! Anda belum beruntung! Wakakaka.. :-D